Senin, 04 Mei 2015

TASAWUF DAN MODERNITAS

“Ketika manusia menyusahkan para faqir mereka, mempertontonkan kemewahan yang meluap-luap dan menumpuk harta kekayaan, maka Allah SWT akan menurunkan empat musibah bagi mereka: kelaparan, kelaliman penguasa, penghianat hukum dan tekanan musuh.” (Muhammad Rasulullah)

Tasawuf adalah salah satu dari ilmu tekstual-rasional di samping ushul fiqh, filsafat dan kalam. Ia bukan ilmu tekstual murni sebagaimana fiqh, hadits, tafsir dan sirah karena tasawuf sebetulnya adalah sebuah metode tertentu dalam menafsirkan teks-teks keagamaan dan mengaitkannya dengan perkembangan dunia luar. Tasawuf juga bukan merupakan ilmu rasional murni sebagaimana matematika, fisika dan humaniora, karena tasawuf menjadikan Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai referensi bukan inspirasi.
Tasawuf berbeda dengan ushul fiqh karena tasawuf mengedepankan penafsiran ayat-ayat Al-Quran dan Al-Sunnah secara rasional-intuitif sedangkan ushul fiqh mengedepankan penafsiran rasional-praksis, kalam mengedepankan rasional-dialektis dan filsafat mengedepankan rasional-logis. Tasawuf menjadikan intuisi sebagai epistem penafsiran. Dalam tasawuf, bukan level akal yang dielukan akan tetapi kondisi hati melalui tangga-tangga ahwāl dan maqāmat hingga sampai kepada ma’rifah (al-‘ilm allażi la yarīdu fīhi syakk).

Sebagai ilmu yang termasuk dalam rumpun ilmu-ilmu tekstual-rasional sudah barang tentu tasawuf lahir melalui sela-sela penafsiran terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah. Nabi sendiri menegaskan “لكل اية ظهر وبطن, ولكل حرف حد, ولكل حد مطلع. Penafsiran itu tidak hanya dilakukan oleh ulama-ulama belakangan yang mengembangkan al-tafsir al-isyārī (tafsir esoteris) akan tetapi dicontohkan oleh sahabat-sahabat seperti Abu Dzar Al-Ghifari yang melakukan perlawanan terhadap hedonisme birokrat-birokrat di bawah kepemimpinan sahabat Ustman ibn Affan dan dilakukan oleh Muawiyah sendiri. Pun penafsiran ini dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dalam perilaku zuhud. Meski, istilah tasawuf tidak muncul pada masa kenabian atau bahkan setelah masa sahabat.

Tak kurang salah seorang ulama Islam terbesar yaitu Ibn Taimiyah yang gencar melakukan kritik balik terhadap tasawuf, mengapresiasi seorang sufi besar Islam bernama Abdul Qadir Al-Jailani. Ibn Taimiyah tidak hanya mengapresiasinya dengan memberikan komentar terhadap bukunya yang berjudul Futūħ  Al-Ghaib akan tetapi juga menegaskan Al-Jailani adalah seorang alim yang besar dan wira‘i. Di dalam  Majmū’ Al-Fatāwā buah karya Ibn Taimiyah, dikhususkan satu bab yang membahas tasawuf ini. Kita tidak hanya perlu belajar dari Al-Jailani dan Ibn Taimiyah akan tetapi sufi-sufi besar Islam lainnya yang hidup di sepanjang sejarah Islam bahkan di masa modern ini.

Semenjak awal, tasawuf tidak muncul dan tumbuh subur di daerah terpencil, wilayah gunung, atau mungkin di hantaran padang pasir. Tasawuf sejauh akarnya bisa ditarik ke belakang tidak muncul di Madinah maupun Makkah, yang pada abad II H dan seterusnya, termasuk kota tradisional dibandingkan kota-kota besar lainnya. Tasawuf lahir dan berkembang di kota-kota metropolitan dan modern seperti Damaskus, Baghdad, Mesir dan Cordova. Damaskus dan Baghdad adalah kelanjutan sentral pemerintahan sebagai dua ibu kota Islam sedangkan Mesir dan Cordova adalah simbol peradaban dan ilmu pengetahuan Islam.

Di kota-kota modern itu tergelar kontes kehidupan yang serba kontradiktif. Di beberapa sudut kota, tukang mabuk berpesta di kebun-kebun indah yang mereka miliki, tetapi di beberapa sudut lainnya berkumpul para ahli ibadah yang larut dalam halaqah zikir dan bercerita tentang keprihatinan. Merekapun duduk melingkar sebagai simbol pemungkiran terhadap dunia. Di salah satu kota besar itu, Abu Nawas menghabiskan setiap malam dengan nafsu terlarang yang meluap, tetapi Umar Al-Qaisy sebaliknya, tidak sesekali mengisi malamnya kecuali bercinta dengan Allah SWT dalam tahajud dan tadlarru’.

Praksis gambaran kota-kota modern itu tak ubahnya rumah hidayah tapi sekaligus rumah kesesatan, kebun dzikir tapi sekaligus surga minuman keras. Ahmad Amin bercerita, budaya Abbasiah di Baghdad pada abad II H dan selanjutnya adalah budaya intertain sekaligus budaya masjid, pemetik gitar datang di kedai-kedai musik larut malam, tetapi penghapal Al-Quran melantunkan ayat-ayat suci tentang janji surga, ada penari malam tetapi ada juga pelaku tahajud, banyak pemilik rumah mewah, tetapi banyak juga penikmat agama, iman dan keyakinan.

Tasawuf muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap manifes-manifes modernitas yang negatif. Ia menampilkan budaya penyeimbang dengan sekuat mungkin setia pada nilai-nilai: zuhud sebagai tindakan anti penyalahgunaan nikmat, tawadlu’ dan inkār al-żāt sebagai pendobrak kesombongan dan nafsu popularitas karena ilmu, harta dan tahta, pengutamaan hidup faqr (sederhana meski memiliki harta banyak) sebagai ganti pengarusutamaan materi. Muncul ajaran maqamāt dan aħwāl sebagai takaran tingkat kedalaman pemahaman dan penghayatan manusia terhadap agama dan kehidupan dunia.

Ajaran tasawuf semakin berkembang karena kecukupan materi yang meluap ternyata tidak berhasil mengantarkan kepada kebahagiaan yang diinginkan. Kecukupan materi justru seringkali menyeret mereka ke lembah kesengsaraan. Di ranah politik muncul pemimpin despotis semisal Yazid ibn Muawiyah, Hisyam ibn Abd Al-Mulk dan Walid ibn Yazid, pun birokrat penjilat seperti Ziyad ibn Abih, Ubaidillah ibn Ziyad dan Hujjaj ibn Yusuf di sekeliling mereka. Sedangkan di ranah sosial, demoralisasi yang mencemaskan terus menyeruak ke permukaan.

Ketika Dinasti Umayah melemah dan segera digantikan Abbasiah, kesengsaraan tidak selesai, krisis masih berkelanjutan ketika muncul gerakan pemberontak seperti Al-Zanji dan Qaramithah. Umat Islam berada di antara dua bencana besar: bencana kepemimpinan dan bencana pemberontakan (pemimpin kuat tapi lalim, rakyat kuat tapi pemberontak). Keduanya menyebabkan tidak adanya jaminan keamanan dan karena kebangrutan moral berupa hedonisme, korupsi dan pemborosan, kelaparan cepat terjadi di mana-mana. Rasulullah SAW bersabda, “Ketika manusia menyusahkan para faqir mereka, mempertontonkan kemewahan yang meluap-luap dan menumpuk harta kekayaan, maka Allah SWT akan menurunkan empat musibah bagi mereka: kelaparan, kelaliman penguasa, penghianat hukum dan tekanan musuh.”

Tasawuf adalah simbol perlawanan untuk meluruskan kehidupan dunia ini. Di dalam gerakan perlawanan ini muncul antara lain: Ibrahim ibn Adham, pemimpin negara Balkh yang hidup sebagaimana kehidupan para amir, tetapi berbalik menekuni zuhud, Rabi‘ah ‘Adawiyyah, biduan dan pemain gitar kesohor, membanting gitarnya sebagai simbol perlawanan terhadap kehidupan masa lalunya. Ia pun berbalik mendendangkan lagu-lagu cinta ketuhanan (al- ħub al-ilāhi), Abdullah ibn Mubarak juga membuktikan nilai-nilai tasawuf mampu menggerakkan masyarakat melawan keduniawian Harun Al-Rasyid, sang Khalifah.


Tasawuf menjadi penyeimbang kehidupan modern karena para sufi mengandaikan tindakan dan prilaku sebagai sikap untuk melawan. Ia melampaui para filsuf dan teolog yang berhenti pada pemikiran. Para sufi datang ke masyarakat sebagai orang yang bertindak (al-‘amal) bukan orang yang berpikir (al-‘ilm). Pada awal abad II H Ibn Munabbih sudah mengingatkan Ibn Makħūl sang fakih, ”Kamu benar telah menjadikan ilmu lahir sebagai syariatmu, maka carilah ilmu batin dari Allah SWT melewati jalan cinta, ketawadlu’an dan keinsyafan batin.”  (JURNALIS SATKORCAB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar