“Ketika
manusia menyusahkan para faqir mereka, mempertontonkan kemewahan yang
meluap-luap dan menumpuk harta kekayaan, maka Allah SWT akan menurunkan empat
musibah bagi mereka: kelaparan, kelaliman penguasa, penghianat hukum dan
tekanan musuh.” (Muhammad Rasulullah)

Tasawuf berbeda dengan ushul fiqh karena tasawuf
mengedepankan penafsiran ayat-ayat Al-Quran dan Al-Sunnah secara
rasional-intuitif sedangkan ushul fiqh mengedepankan penafsiran
rasional-praksis, kalam mengedepankan rasional-dialektis dan filsafat
mengedepankan rasional-logis. Tasawuf menjadikan intuisi sebagai epistem penafsiran.
Dalam tasawuf, bukan level akal yang dielukan akan tetapi kondisi hati melalui
tangga-tangga ahwāl dan maqāmat hingga sampai kepada ma’rifah (al-‘ilm
allażi la yarīdu fīhi syakk).
Sebagai ilmu yang termasuk dalam rumpun ilmu-ilmu
tekstual-rasional sudah barang tentu tasawuf lahir melalui sela-sela penafsiran
terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah. Nabi sendiri menegaskan “لكل اية ظهر وبطن, ولكل حرف حد,
ولكل حد مطلع”.
Penafsiran itu tidak hanya
dilakukan oleh ulama-ulama belakangan yang mengembangkan al-tafsir al-isyārī
(tafsir esoteris) akan tetapi dicontohkan oleh sahabat-sahabat seperti Abu Dzar
Al-Ghifari yang melakukan perlawanan terhadap hedonisme birokrat-birokrat di
bawah kepemimpinan sahabat Ustman ibn Affan dan dilakukan oleh Muawiyah sendiri.
Pun penafsiran ini dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dalam perilaku
zuhud. Meski, istilah tasawuf tidak muncul pada masa kenabian atau bahkan
setelah masa sahabat.
Tak kurang salah seorang ulama Islam terbesar
yaitu Ibn Taimiyah yang gencar melakukan kritik balik terhadap tasawuf,
mengapresiasi seorang sufi besar Islam bernama Abdul Qadir Al-Jailani. Ibn
Taimiyah tidak hanya mengapresiasinya dengan memberikan komentar terhadap
bukunya yang berjudul Futūħ Al-Ghaib akan
tetapi juga menegaskan Al-Jailani adalah seorang alim yang besar dan wira‘i. Di
dalam Majmū’ Al-Fatāwā buah karya
Ibn Taimiyah, dikhususkan satu bab yang membahas tasawuf ini. Kita tidak hanya
perlu belajar dari Al-Jailani dan Ibn Taimiyah akan tetapi sufi-sufi besar
Islam lainnya yang hidup di sepanjang sejarah Islam bahkan di masa modern ini.
Semenjak awal, tasawuf tidak muncul dan tumbuh
subur di daerah terpencil, wilayah gunung, atau mungkin di hantaran padang
pasir. Tasawuf sejauh akarnya bisa ditarik ke belakang tidak muncul di Madinah
maupun Makkah, yang pada abad II H dan seterusnya, termasuk kota tradisional
dibandingkan kota-kota besar lainnya. Tasawuf lahir dan berkembang di kota-kota
metropolitan dan modern seperti Damaskus, Baghdad, Mesir dan Cordova. Damaskus
dan Baghdad adalah kelanjutan sentral pemerintahan sebagai dua ibu kota Islam
sedangkan Mesir dan Cordova adalah simbol peradaban dan ilmu pengetahuan Islam.
Di kota-kota modern itu tergelar kontes kehidupan yang
serba kontradiktif. Di beberapa sudut kota, tukang mabuk berpesta di
kebun-kebun indah yang mereka miliki, tetapi di beberapa sudut lainnya berkumpul
para ahli ibadah yang larut dalam halaqah zikir dan bercerita tentang keprihatinan.
Merekapun duduk melingkar sebagai simbol pemungkiran terhadap dunia. Di salah
satu kota besar itu, Abu Nawas menghabiskan setiap malam dengan nafsu terlarang
yang meluap, tetapi Umar Al-Qaisy sebaliknya, tidak sesekali mengisi malamnya
kecuali bercinta dengan Allah SWT dalam tahajud dan tadlarru’.
Praksis gambaran kota-kota modern itu tak ubahnya
rumah hidayah tapi sekaligus rumah kesesatan, kebun dzikir tapi sekaligus surga
minuman keras. Ahmad Amin bercerita, budaya Abbasiah di Baghdad pada abad II H dan
selanjutnya adalah budaya intertain sekaligus budaya masjid, pemetik gitar
datang di kedai-kedai musik larut malam, tetapi penghapal Al-Quran melantunkan
ayat-ayat suci tentang janji surga, ada penari malam tetapi ada juga pelaku
tahajud, banyak pemilik rumah mewah, tetapi banyak juga penikmat agama, iman
dan keyakinan.
Tasawuf muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap manifes-manifes
modernitas yang negatif. Ia menampilkan budaya penyeimbang dengan sekuat
mungkin setia pada nilai-nilai: zuhud sebagai tindakan anti penyalahgunaan
nikmat, tawadlu’ dan inkār al-żāt sebagai pendobrak kesombongan dan
nafsu popularitas karena ilmu, harta dan tahta, pengutamaan hidup faqr (sederhana
meski memiliki harta banyak) sebagai ganti pengarusutamaan materi. Muncul
ajaran maqamāt dan aħwāl sebagai takaran tingkat kedalaman
pemahaman dan penghayatan manusia terhadap agama dan kehidupan dunia.
Ajaran tasawuf semakin berkembang karena kecukupan
materi yang meluap ternyata tidak berhasil mengantarkan kepada kebahagiaan yang
diinginkan. Kecukupan materi justru seringkali menyeret mereka ke lembah
kesengsaraan. Di ranah politik muncul pemimpin despotis semisal Yazid ibn
Muawiyah, Hisyam ibn Abd Al-Mulk dan Walid ibn Yazid, pun birokrat penjilat
seperti Ziyad ibn Abih, Ubaidillah ibn Ziyad dan Hujjaj ibn Yusuf di sekeliling
mereka. Sedangkan di ranah sosial, demoralisasi yang mencemaskan terus
menyeruak ke permukaan.
Ketika Dinasti Umayah melemah dan segera
digantikan Abbasiah, kesengsaraan tidak selesai, krisis masih berkelanjutan ketika
muncul gerakan pemberontak seperti Al-Zanji dan Qaramithah. Umat Islam berada di
antara dua bencana besar: bencana kepemimpinan dan bencana pemberontakan
(pemimpin kuat tapi lalim, rakyat kuat tapi pemberontak). Keduanya menyebabkan
tidak adanya jaminan keamanan dan karena kebangrutan moral berupa hedonisme,
korupsi dan pemborosan, kelaparan cepat terjadi di mana-mana. Rasulullah SAW
bersabda, “Ketika manusia menyusahkan para faqir mereka, mempertontonkan kemewahan
yang meluap-luap dan menumpuk harta kekayaan, maka Allah SWT akan menurunkan
empat musibah bagi mereka: kelaparan, kelaliman penguasa, penghianat hukum dan
tekanan musuh.”
Tasawuf adalah simbol perlawanan untuk meluruskan
kehidupan dunia ini. Di dalam gerakan perlawanan ini muncul antara lain: Ibrahim
ibn Adham, pemimpin negara Balkh yang hidup sebagaimana kehidupan para amir,
tetapi berbalik menekuni zuhud, Rabi‘ah ‘Adawiyyah, biduan dan pemain gitar kesohor,
membanting gitarnya sebagai simbol perlawanan terhadap kehidupan masa lalunya.
Ia pun berbalik mendendangkan lagu-lagu cinta ketuhanan (al- ħub al-ilāhi),
Abdullah ibn Mubarak juga membuktikan nilai-nilai tasawuf mampu menggerakkan
masyarakat melawan keduniawian Harun Al-Rasyid, sang Khalifah.
Tasawuf menjadi penyeimbang kehidupan modern karena
para sufi mengandaikan tindakan dan prilaku sebagai sikap untuk melawan. Ia
melampaui para filsuf dan teolog yang berhenti pada pemikiran. Para sufi datang
ke masyarakat sebagai orang yang bertindak (al-‘amal) bukan orang yang
berpikir (al-‘ilm). Pada awal abad II H Ibn Munabbih sudah mengingatkan
Ibn Makħūl sang fakih, ”Kamu benar telah menjadikan ilmu lahir sebagai syariatmu,
maka carilah ilmu batin dari Allah SWT melewati jalan cinta, ketawadlu’an dan
keinsyafan batin.” (JURNALIS SATKORCAB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar